BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Menyaksikan
perkembangan peradaban Barat yang fenomenal dan spektakuler, pencapaian
peradaban Barat sekarang ini bisa digolongkan puncak peradaban umat manusia
yang pernah dicapai sepanjang sejarah. Ilmu pengetahuan dan teknologi canggih
merupakan dua produk peradaban yang telah dicapai bangsa Barat yang mampu
memenuhi kebutuhan hidup umat manusia. Sejak Revolusi Industri di Inggris abad
ke-16 dan Revolusi Prancis pada tahun 1789, Barat bergerak maju bagaikan anak
panah yang dilepaskan dari busurnya.
Perkembangan
peradaban itu terus melaju pesat meninggalkan peradaban bangsa Timur yang
memang sejalan dengan misi mereka yaitu membuat atau menjadikan dunia Islam
tidak mempunyai peran penting dalam mencoraki arus sejarah global. Menurut Dr.
H. Saiful Anwar, MA, tejadinya kesenjangan corak dan laju perkembangan antara
Barat dan Timur Islami itu timbul dari sebab-sebab yang komplek. Salah satunya
seringnya dikaitkan dengan kisah pertarungan antara “agama” dan filsafat yang
dimenangkan kubu pertama.[1]
Di sisi lain menurut A. Syafi’i Ma’arif, karena kekecewaan
para ilmuwan Barat terhadap doktrin-doktrin Gereja pada abad pertengahan ,
mereka akhirnya melawan doktrin-doktrin tersebut. Perlawanan itu begitu sengit,
bahkan melampaui batas. Deskartes misalnya, tanpa ragu mengatakan bahwa moral
dan iman tidak ada sangkut pautnya dengan penalaran (reason). Sementara
Machiavelli (1467 – 1527), seorang filosof politik Italia yang telah terlebih
dahulu memproklamasikan terpisahnya moral dengan politik.
Abu Hamid
al-Ghazali (450 – 505 H/1058 – 1111 M) merupakan salah seorang filosof yang
melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filosof. Kritik
pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut al-Falasifat
(The Inkoherence of the fhilosopher; Kerancuan Pemikir Para Filosof).[2][3] Disatu pihak, al-Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam (Argumen
Islam), dan dinyatakan oleh Ibn ‘Asakir sebagai Mujahid (Pembaharu) Islam abad
ke-5 H. tidak heran jika ia menduduki posisi penting di dunia Islam sepanjang
sejarah hidupnya. Sejak abad ke-13 M dunia Islam lebih didominasi kalam dan
sufisme sehingga emperisme terhambat pekembangannya.
Karya
al-Ghazali yang sangat monumental adalah Tahafut al-Falasifah yang
berisikan serangan terhadap kerancuan berfikir para filosof yang secara
lahiriah ditandingi dan dibantah oleh Ibn Rusyd melalui bukunya Tahafut
al-Tahafut. Sebagai seorang filosof, Ibn Rusyd merasa perlu membela para
filosof dan pemikiran mereka serta mendudukkan masalah-masalah tersebut pada
proporsinya. Melalui karyanya yang berjudul Tahafut al-Tahafut, seolah-olah Ibn
Rusyd telah mengisyaratkan bahwa al-Ghazali-lah yang sebenarnya kacau dalam
berpikirnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
PANDANGAN
IMAM AL-GHAZALI TERHADAP KERANCUAN BERFIKIR PARA FILUSUF
A. Imam Al-Ghazali
1.
Riwayat
Hidup al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid
Muhammad bin Ahmad al-Ghazali al-Thsusi. Ia dilahirkan pada tahun 450 H
bertepatan dengan tahun 1058 M di Ghazal, Thus, Provinsi Khurasan, Republik
Islam Iran. Sebagaimana telah di nukilkan oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam bukunya
Peta Bumi Intelektual Muslim di Indonesia bahwa tahun kelahiran al-Ghazali
bertepatan dengan tahun meninggalnya al-Mawardi, seorang yuris Abbasiyah yang
sangat kenamaan. Perbedaan antara dua ulama besar ini adalah al-Mawardi dikenal
sebagai yuris dan diplomat yang ingin mengembalikan wibawa politik Abbasiyah
yang sudah berantakan melalui bukunya
yang berjudul al-Ahkam al-Sulthaniyah, al-Ghazali dalam pengembaraan intelektualnya ternyata
telah menukik jauh ke alam esoteris dengan kemampuan sufistik yang luar biasa.
Pada masa kecilnya al-Ghazali
belajar kepada Yusuf al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan saat itu.
Sepeninggal gurunya ini, al-Ghazali berguru kepada Ahmad Ibn Muhammad
al-Razakanya al-Thusi dan dilanjutkan kepada Abu Nashral-Isma’ily di Jurdan dan
akhirnya ia masuk ke sekolah Nizhamiyah di Naisabur yang dipimpin oleh imam
al-Haramaini (Imam dua kota haram: Makkah dan Madinah), dari beliaulah
al-Ghazali menimba ilmu pengetahuan seperti ilmu fiqh, ilmu kalam dan ilmu
logika.
Pada sekolah ini pulalah al-Ghazali
belajar teiri dan praktek tasawuf kepada Abu Ali al-Fadhl Ibn Muhammad Ibn Ali
al-Farmadhi (w.477 H). dengan demikian, semakin lengkaplah ilmu yang
diterimanya selama di Naisabur dan di sekolah ini pulalah beliau diangkat
menjadi dosen dalam usia 25 tahun. Setelah gurunya, al-Juwaini wafat,
al-Ghazali ke Mu’askar dan berhubungan baik dengan Nizham al-Mulk, Perdana
Mentri Sultan Bani Saljuk.
Dalam hidupnya al-Ghazali pernah
mengalami suatu masa keragu-raguan. Dalam perjalanan hidupnya untuk mencari
kebenaran al-Ghazali mempelajari teology ternyata dalam teology tersebut banyak
terdapat pertentangan-pertentangan. Kemudian dipelajarinya filsafat ternyata
tidak mempunyai argument yang kuat bahkan ada hal-hal yang bertentangan dengan
agama. Akhirnya dia menemukan kebenaran yang dicarinya dalam tasawuf.[3]
Sirajudin Zar menukilkan setelah
al-Ghazali mengalami keragu-raguan tersebut, ia meninggalkan semua jabatan yang
disandangnya, seperti rektor dan guru besar di Baghdad, kemudian ia mengembara
ke Damaskus. Di Masjid Jami’ Damaskus ia mengisolasi diri (uzlah) untuk
beribadah, kontemplasi, dan sufistik yang berlangsung selama dua tahun.
Setelah sembuh dari penyakit
rohaninya, al-Ghazali kembali memimpin Perguruan Tinggi Nizhamiyah di Bagdad,
kemudian ia pulang ke Thus dan membangun sebuah madrasah Khan-kah
(semacam tempat praktik suluk). Al-Ghazali diberi gelar kehormatan dengan Hujjat
al-Islam (Argumentasi Islam).[4][12] Semasa mendalami filsafat, ia menemukan banyak terdapat
kelemahan di dalamnya bahkan menurut keyakinannya banyak ajaran filsafat yang
bertentangan dengan ajaran Islam bahkan ajaran filsafat kelihatan meremehkan
ajaran Islam. Maka tidak mengherankan jika dirinya terpanggil untuk membantah
ulama melalui bukunya yang berjudul “Tahafut al-Falasifah” (kekacauan
pemikiran filosof-filosof). Sasaran kritik al-Ghazali dalam bukunya itu
terutama ditujukan kepada filosof-filosof Islam al-Farabi dan Ibnu Sina.
Pandangan kedua orang filosof tersebut menurut keyainannya banyak menyimpang
dari pokok-pokok ajaran Islam. Tujuan al-Ghazali dengan kritiknya itu adalah
untuk mengembalikan kewajiban syari’at agama dan menyelamatkan aqidah
ahlussunnah.[5]
Ia wafat pada hari senin, 14 Jumadil
akhir 505 H / 18 Desember 1111 M, dimakamkan di Tabaran, Thus, dan kuburannya
banyak diziarahi oleh orang-orang. Menurut
laporan adiknya, Ahmad al-Ghazali, al-Ghazali wafat setelah berwudu shalat
shubuh
Sosok al-Ghazali memiliki
keistimewaan yang luar biasa, ia seorang ulama, pendidik, ahli fikir dalam
ilmunya, dan pengarang yang produktif. Al-Ghazali banyak sekali meninggalkan
warisan dalam bentuk karya ilmiah yang banyak memberikan kontribusi positif
bagi pemikiran umat Islam seperti Ihya Ulum al-Din, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad,
Maqasid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, Al-Munqiz min al-Dhalal, Mizan
al-‘Amal.
Pemaparan singkat di atas
menggambarkan bahwa al-Ghazali telah menempuh jalan yang panjang dan berliku
dalam proses mengisi intelektualnya, bahkan boleh dibilang semua disiplin ilmu
disentuhnya dan memahami betul dengan keilmuannya terbukti dengan banyaknya
warisan berupa karya ilmiah yang ia tinggalkan untuk umat, namun tiada gading
yang tidak retak, nampaknya hal ini cukup proporsional untuk menggambarkan
bahwa cukup banyak tokoh dan ilmuan yang memberikan komentar terhadapnya baik
berupa pujian sampai ke tingkat kultus, dan kritik sampai ke tingkat alergi,
baik pada zaman klasik maupun pada zaman modern. Pada sub bahasan bab ini akan
dibahas salah seorang tokoh dan pemikirannya yang mengkritik al-Ghazali yaitu
Ibnu Rusyd.
b.
Kritik Terhadap Filosof
Al-Gahazali melontarkan sanggahan
luar biasa keras terhadap pemikiran para filosof. Adapun yang dimaksud dengan
filosof dalam bahasan al-Ghazali ini adalah Aristoteles dan Plato. juga
al-Farabi dan Ibn Sina karena kedua filosof Muslim ini dipandang al-Ghazali
sangat bertanggung jawab dalam menerima dan menyebarluaskan pemikiran filosofis
dari Yunani (Sokrates, Aristoteles, dan Plato) di dunia Islam. Kritik pedas
tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut al-Falasifah
(Kerancuan berpikir para filosof). Sebelumnya, ia mempelajari filsafat tanpa
bantuan seorang gurupun dalam kurun waktu dua tahun. Setelah berhasil
dihayatinya dengan seksama, lalu ia tuangkan dalam bukunya Maqasid
al-Falasifat (Tujuan Pemikiran Para Filosof). Dengan adanya buku ini ada
orang yang mengatakan bahwa ia benar-benar menguasai argument yang dipergunakan
oleh para filosof.
Kesalahan para filosof tersebut
dalam bidang ketuhanan ada 20 masalah, yaitu:
1. Membatalkan pendapat mereka bahwa
ala mini azali
2. Membatalkan pendapat mereka bahwa
alam ini kekal
3. Menjelaskan keragu-raguan mereka
bahwa Allahlah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam ini diciptakanNya.
4. Menjelaskan kelemahan mereka dalam
membuktikan Yang Maha Pencipta.
5. Menjelaskan kelemahan mereka dalam
menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan.
6. Membatalkan pendapat mereka bahwa
Allah tidak mempunyai sifat.
7. Membatalkan pendapat mereka bahwa
Allah tidak terbagi kepada ke dalam al-jins dan al-fashl (diffirentia)
8. Membatalkan pendapat mereka bahwa
Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyat
(hakikat).
9. Menjelaskan kelemahan pendapat
mereka bahwa Allah tidah berjism
10. Menjelaskan kelemahan pendapat
mereka tentang al-dahr (kekal dalam arti tidak berawal dan tidak berakhir)
11. Menjelaskan kelemahan pendapat
mereka bahwa Allah mengetahui yang selain mereka.
12. Menjelaskan kelemahan pendapat
mereka dalam membuktikan bahwa allah hanya mengetahui zatnya
13. Membatalkan pendapat mereka bahwa
Allah tidak mengetahui juz’iyyat.
14. Menjelaskan pendapat mereka bahwa
planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauanNya.
15. Membatalkan apa yang mereka sebutkan
tentang tujuan penggerak dari planet-planet.
16. Membatalkan pendapat mereka bahwa
planet-planet mengetahui semua juz’iyyat.
17. Membatalkan pendapat mereka yang
mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hokum alam.
18. Menjelaskan pendapat mereka bahwa
roh manusia adalah jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai
tubuh.
19. Menjelaskan pendapat mereka yang
menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap) sifat manusia.
20. Membatalkan pendapat mereka yang
menyatakan bahwa tubuh tudak akan dibangkitkan dan yang akan menerima
kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam neraka hanya roh
Tiga dari 20 persoalan di atas,
menurut al-Ghazali telah membuat filosof menjadi kafir, yaitu:
1.
Alam
dan Semua Substansinya Qadim.
Pada umumnya filosof Muslim berpendapat bahwa alam ini
kadim, artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Kekadiman Allah dari
alam hanya dari segi zat (taqaddum zaty) dan tidak dari segi makan (taqadum
makany). Menurutnya para filosof Muslim mengemukakan alas an.
a.
Mustahil
timbulnya yang baharu dari yang qadim. Jika Allah kadim, maka terjadinya alam
merupakan sesuatu keniscayaan dan hal ini akan menjadikan kadim kedua-duanya
(Allah dan alam). Jika diandaikan Allah yang kadim sudah ada, sedangkan alam
belum, karena merupakan kemungkinan semata, dan setelah itu alam diadakanNya,
maka apa alasannya bahwa alam diadakan sekarang, tidak sebelumnya. Kalau
dikatakan sebelumnya motifnya (murajjihnya) belum ada, mengapa baru ada
sekarang, tidak sebelumnya? Jika dikatakan kekuasaan baru ada sekarang, tidak
sebelumnya? Bagaimana terjadinya kekuasaan itu. Jika dikatakan sebelumnya Allah
tidak berkehendak (iradath) dan baru kemudian berkehendak, mengapa terjadi
kehendak itu, apakah kehendak itu datang dari zatNya atau dari luar zatNya?
Keduanya itu adalah mustahil bagi karena Allah tidak mengalami perubahan.
Al-hazali
menjawab sendiri argument filosof Muslim ini dengan mengemukakan, tidak ada
halangan apapun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradatNya yang
kadim pada waktu diadakanNya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya
karena memang belum dikehendakiNya. Iradat, menurut al-Ghazali adalah suatu
sifat bagi Allah yang berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang
sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat
qudrat. Akan tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya sama
kedudukannya, harus ada sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah.
Andaikan para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut
sebagai iradat, dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti
sama. Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.
Oleh karena itu jika Allah menetapkan ciptaanNya pada satu waktu dan tidak pada
waktu yang lain, tidaklah mustahil terciptanya sesuatu yang baru dari yang
bersifat kadim karena iradat Allah bersifat mutlak dan tidak dihalangi oleh
ruang dan waktu.
b.
Keterdahuluan
wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi (taqaddum zaty), sedangkan dari segi zaman (taqaddum
zamany) antara keduanya adalah sama. Hal ini sama seeperti keterdahuluan
bilangan satu dari dua. Jika demikian keadaan antara Allah dan alam, harus
keduanya kadim atau baharu dan tidak mungkin salah satunya kadim dan yang
lainnya baharu. Andaikan Allah mendahului alam dari segi zaman, bukan dari segi
zat, ini berarti ada zaman sebelum alam diwujudkan. Pada waktu itu alam harus
belum ada karena ketiadaan melalui wujud. Oleh sebab itu, Allah mendahului
zaman terbatas pada satu sisi dan tidak terbatas pada sisi awal. Ini berarti
sebelum ada zaman sudah ada zaman yang tidak terbatas akhirnya. Hal ini paradok,
justru itu mustahil zaman sebagai ukuran gerak baharu dan ia harus kadim.
Persoalan ini dijawab oleh
al-Ghazali, memang wujud Allah lebih dahulu dari alam dan zaman. Zaman baharu
dan diciptakan. Sebelum zaman diciptakan tidak ada zaman. Pertama kali ada
Allah, kemudian ada alam karena diciptakan Allah. Jadi, dalam keadaan pertama
kita bayangkan adanya Allah saja, dan dalam keadaan yang kedua kita bayangkan
ada dua esensi yaitu Allah dan alam dan tidak perlu membayangkan adanya esensi
yang ketiga, yaitu zaman. Zaman adanya setelah adanya alam karena zaman
merupakan ukuran waktu yang terjadi di alam. Menurut al-Ghazali, mengandaikan
zaman sebelum zaman merupakan khayalan pikiran semata, yang diassumsikan
benar-benar ada, padahal realitanya tidak sama sekali.
c.
Alam
sebelum ada merupakan sesuatu yang mungkin, kemungkinan ini tidak ada awalnya,
dengan arti selalu abadi.
Menurut al-Ghazali, ala mini
senantiasa mungkin terjadinya, dan setiap saat dapat digambarkan terjadinya.
Jika dikatakan bahwa alam ini selama lamanya (kadim) tentu dia tidak baharu.
Kenyataan ini jelas tidak bertentangan dengan kenyataan dan tidak cocok dengan
teori kemungkinan. Yang kadim menurut pandangan al-Ghazali hanya Allah,
sedangkan selain Allah adalah baharu (hadis). Implikasi dari pemahaman ini akan
membawa pada:
-
Paham syirik, karena banyak yang kadim, banyaknya Tuhan
-
Paham atheisme, alam yang kadim tidak ada pencipta[6]
Menurut Sirajudin Zar, persoalan
alam apakah diakadan dari ada atau dari ketiadaan dan prosesnya tidak
dijelaskan dalam al-Qur’an . oleh karena itu, apa pun pendapat yang dikemukakan
tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan itu semua adalah hasil pemahaman
seseorang terhadap ajaran al-Qur’an yang
disebut dengan hasil ijtihad dan itu bukan ajaran al-Qur’an yang tidak boleh
berubah dan tidak boleh diubah.
2. Allah
tidak mengetahui yang juz’iyyah (perincian) yang terjadi di alam.
Menurut para filosof bahwa Tuhan
tidak mengetahui hal-hal atau peristiwa yang terjadi di alam, kecuali hanya
yang umum saja. Alasan yang mereka kemukakan sesuatu yang baharu itu dengan
segala peristiwanya selalu berubah-ubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti kepada
yang diketahui (objeknya), yakni perubahan perkara yang diketahui, menyebabkan
perubahan ilmu. Kalau ilmu-ilmu ini berubah dari tahu menjadi tidak atau
sebaliknya berart Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan
mustahil terjadinya.
Menurut al-Ghazali, argument seperti
ini merupakan kesalahan fatal. Perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan
pada ilmu, karena ilmu merupakan idhafah (sesuatu rangkaian yang berhubungan
dengan zat). Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dengan arti
keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Untuk memperkuat argumentnya,
al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an, diantaranya:
a. Firman Allah dalam Qs. Yunus (10):61
… $tBur Ü>â“÷ètƒ `tã y7Îi¢‘ `ÏB ÉA$s)÷WÏiB ;o§‘sŒ †Îû ÇÚö‘F{$# Ÿwur ’Îû Ïä!$yJ¡¡9$# Iwur ttóô¹r& `ÏB y7Ï9ºsŒ Iwur uŽy9ø.r& žwÎ) ’Îû 5=»tGÏ. AûüÎ7•B ÇÏÊÈ
Artinya: “…… tidak
luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di
langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu,
melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
b. Firman Allah dalam Qs. Al-hujurat
(49):16
…. ª!$#ur ãNn=÷ètƒ $tB ’Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur ’Îû ÇÚö‘F{$# 4 ª!$#ur Èe@ä3Î >äóÓx« ÒO‹Î=tã ÇÊÏÈ
Artinya: “Katakanlah:
"…dan Allah mengetahui apa yang di
langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"
Sebenarnya terdapat kesamaan antara
al-Ghazali dan filosof Muslim, bahwa ilmu dan zat Allah tidak mungkin mengalami
perubahan dan Allah Maha Mengetahui. Perbedaan mereka hanya terletak pada
persoalan bagaimana Allah megetahui yang juz’iyyah.
Filosof mengemukakan bahwa Allah mengetahui yang juz’iyyah (parsial) lewat yang kulli
(umum). Hal ini terjadi disebabkan perbedaan mereka dalam menetapkan sifat dan
zat Tuhan. Para filosof mengidentikkan dengan sifat dan zat, sementara
al-Ghazali membedakan antara sifat dan zatnya. Pendapat filosof Muslim tidak
bertentangan dengan ayat-ayat yang telah dikemukakan oleh al-Ghazali di atas.
Mereka hanya menjelaskan bagaimana cara Allah mengetahui yang juz’iyyah dan
mereka bukan mengingkari Allah tentang mengetahui yang juz’iyyah.
3.
Pembangkitan jasmani tidak ada.
Menurut filosof Muslim yng akan
dibangkitkan di akhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan
hancur. Jadi yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja.
Al-Ghazali pada dasarnya tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan di
akhirat yang lebih tinggi daripada kelezatan di dunia empiris/indrawati. Juga
tidak menolak kekekalan roh setelah berpisah dari jasad, semua itu dapat
diketahui dari otoritas dari jasad. Akan tetapi dia membantah bahwa akal saja
dapat memberikan pengetahuan final dalam masalah metafisika. Dalam menyanggah
pendapat para filosof ini al-Ghazali lebih banyak bersandar pada arti
tekstualitas al-Qur’an. Tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan
atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan.
Para filosof Muslim berpendapat
bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad semula, dengan berpiahnya
jasad dengan roh berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh telah hancur.
Sedangkan menurut al-Ghazali kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan
dengan ajaran agama Islam. Hadis-hadis menyebutkan pula bahwa roh-roh manusia
merasakan adanya kebaikan atau siksa kubur dan lain-lain. Semua ini sebagai
indikasi adanya kekekalan jiwa. Sementara itu, kebangkitan jasmani secara
explisit telah ditegaskan oleh syara’.
Jadi pertentangan yang terjadi
antara filosof Muslim dengan al-Ghazali hanya berkisar pada tataran
interpretasi tentang dasar-dasar ajaran Islam yaitu pada bentuk kebangkitan di
akhirat, bukan pertentangan pada dasar-dasar Islam itu sendiri, yakni
kebangkitan di akhirat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Seperti
sudah diuraikan di atas bahwa ada tiga lahan perdebatan yang ditudingkan
al-Ghazali kepada para filosof Muslim yang menyebabkan mereka menjadi kafir
yaitu masalah kadimnya alam, Allah tidak mengetahui yang juz’iyyah dan masalah
pembangkitan jasmani. Tiga persoalan menjadi lapangan akal karena tidak ada
nash al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW yang menegaskannya. Pendapat al-Ghazali ini,
sebagi seorang teolog Muslim, tentu saja dipengaruhi oleh paham kekuasaan dan
kehendak mutlak tuhan, artinya Allah dapat berbuat apapun tanpa ada yang
menghalangi-Nya, sehingga tidak mengherankan jika al-Ghazali berpendapat
demikian.
3 masalah
yang menurut al-Ghazali telah membuat filosof menjadi kafir, yaitu:
1. Alam dan Semua Substansinya Qadim.
2. Allah tidak mengetahui yang juz’iyyah
(perincian) yang terjadi di alam.
3. Pembangkitan jasmani tidak ada.
B.
Saran
Dengan
adanya makalah tentang pandangan imam al-ghazali terhadap kerancuan berfikir
para filufus ini semoga dapat menambah pengetahuan kita tentang jalannya
berfikirnya para ahli filosof dalam mengeluarkan pendapatnya tentang islam.
Semoga bermanfaat bagi pembaca. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Saepul Anwar, (2007), Filsafat Ilmu al-Ghazali Dimensi Ontologi
dan Aksiologi, Bandung: Pustaka Setia
Sirajuddin Zar, (2004), Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo.
Harun Nasution,(1973), Filsafat dan Misticisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Fachri Syamsudin, (2005), Dasar –
Dasar Filsafat Islam, Jakarta: The Minangkabau Foundation
http://filsafatcoy.blogspot.com/2013/05/al-ghazali-dan-ibn-rusyd.html
[2]
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2004), h. 159
[3]
Harun Nasution, Filsafat dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973)., cet. I., h., 35 - 37
[5]
Fachri
Syamsudin, Dasar – Dasar Filsafat Islam, (Jakarta: The Minangkabau
Foundation, 2005)., cet. I., h. 74 - 75
[6] Ibid,
h. 168. Baca juga Harun Nasution, Makalah Simposium tentang al-Ghazali
diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Swasta se-Indonesia,
Jakarta: 26 Januari 1985, h. 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar