Jumat, 03 Januari 2014

PANDANGAN IMAM AL-GHAZALI TERHADAP KERANCUAN BERFIKIR PARA FILUSUF



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
          Menyaksikan perkembangan peradaban Barat yang fenomenal dan spektakuler, pencapaian peradaban Barat sekarang ini bisa digolongkan puncak peradaban umat manusia yang pernah dicapai sepanjang sejarah. Ilmu pengetahuan dan teknologi canggih merupakan dua produk peradaban yang telah dicapai bangsa Barat yang mampu memenuhi kebutuhan hidup umat manusia. Sejak Revolusi Industri di Inggris abad ke-16 dan Revolusi Prancis pada tahun 1789, Barat bergerak maju bagaikan anak panah yang dilepaskan dari busurnya.
          Perkembangan peradaban itu terus melaju pesat meninggalkan peradaban bangsa Timur yang memang sejalan dengan misi mereka yaitu membuat atau menjadikan dunia Islam tidak mempunyai peran penting dalam mencoraki arus sejarah global. Menurut Dr. H. Saiful Anwar, MA, tejadinya kesenjangan corak dan laju perkembangan antara Barat dan Timur Islami itu timbul dari sebab-sebab yang komplek. Salah satunya seringnya dikaitkan dengan kisah pertarungan antara “agama” dan filsafat yang dimenangkan kubu pertama.[1]
Di sisi lain menurut A. Syafi’i Ma’arif, karena kekecewaan para ilmuwan Barat terhadap doktrin-doktrin Gereja pada abad pertengahan , mereka akhirnya melawan doktrin-doktrin tersebut. Perlawanan itu begitu sengit, bahkan melampaui batas. Deskartes misalnya, tanpa ragu mengatakan bahwa moral dan iman tidak ada sangkut pautnya dengan penalaran (reason). Sementara Machiavelli (1467 – 1527), seorang filosof politik Italia yang telah terlebih dahulu memproklamasikan terpisahnya moral dengan politik.
          Abu Hamid al-Ghazali (450 – 505 H/1058 – 1111 M) merupakan salah seorang filosof yang melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filosof. Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut al-Falasifat (The Inkoherence of the fhilosopher; Kerancuan Pemikir Para Filosof).[2][3] Disatu pihak, al-Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam (Argumen Islam), dan dinyatakan oleh Ibn ‘Asakir sebagai Mujahid (Pembaharu) Islam abad ke-5 H. tidak heran jika ia menduduki posisi penting di dunia Islam sepanjang sejarah hidupnya. Sejak abad ke-13 M dunia Islam lebih didominasi kalam dan sufisme sehingga emperisme terhambat pekembangannya.
          Karya al-Ghazali yang sangat monumental adalah Tahafut al-Falasifah yang berisikan serangan terhadap kerancuan berfikir para filosof yang secara lahiriah ditandingi dan dibantah oleh Ibn Rusyd melalui bukunya Tahafut al-Tahafut. Sebagai seorang filosof, Ibn Rusyd merasa perlu membela para filosof dan pemikiran mereka serta mendudukkan masalah-masalah tersebut pada proporsinya. Melalui karyanya yang berjudul Tahafut al-Tahafut, seolah-olah Ibn Rusyd telah mengisyaratkan bahwa al-Ghazali-lah yang sebenarnya kacau dalam berpikirnya.













BAB II
PEMBAHASAN
PANDANGAN IMAM AL-GHAZALI TERHADAP KERANCUAN BERFIKIR PARA FILUSUF
A.  Imam Al-Ghazali
1.        Riwayat Hidup al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Ghazali al-Thsusi. Ia dilahirkan pada tahun 450 H bertepatan dengan tahun 1058 M di Ghazal, Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Iran. Sebagaimana telah di nukilkan oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam bukunya Peta Bumi Intelektual Muslim di Indonesia bahwa tahun kelahiran al-Ghazali bertepatan dengan tahun meninggalnya al-Mawardi, seorang yuris Abbasiyah yang sangat kenamaan. Perbedaan antara dua ulama besar ini adalah al-Mawardi dikenal sebagai yuris dan diplomat yang ingin mengembalikan wibawa politik Abbasiyah yang sudah berantakan  melalui bukunya yang berjudul al-Ahkam al-Sulthaniyah, al-Ghazali  dalam pengembaraan intelektualnya ternyata telah menukik jauh ke alam esoteris dengan kemampuan sufistik yang luar biasa.
Pada masa kecilnya al-Ghazali belajar kepada Yusuf al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan saat itu. Sepeninggal gurunya ini, al-Ghazali berguru kepada Ahmad Ibn Muhammad al-Razakanya al-Thusi dan dilanjutkan kepada Abu Nashral-Isma’ily di Jurdan dan akhirnya ia masuk ke sekolah Nizhamiyah di Naisabur yang dipimpin oleh imam al-Haramaini (Imam dua kota haram: Makkah dan Madinah), dari beliaulah al-Ghazali menimba ilmu pengetahuan seperti ilmu fiqh, ilmu kalam dan ilmu logika.
Pada sekolah ini pulalah al-Ghazali belajar teiri dan praktek tasawuf kepada Abu Ali al-Fadhl Ibn Muhammad Ibn Ali al-Farmadhi (w.477 H). dengan demikian, semakin lengkaplah ilmu yang diterimanya selama di Naisabur dan di sekolah ini pulalah beliau diangkat menjadi dosen dalam usia 25 tahun. Setelah gurunya, al-Juwaini wafat, al-Ghazali ke Mu’askar dan berhubungan baik dengan Nizham al-Mulk, Perdana Mentri Sultan Bani Saljuk.
Dalam hidupnya al-Ghazali pernah mengalami suatu masa keragu-raguan. Dalam perjalanan hidupnya untuk mencari kebenaran al-Ghazali mempelajari teology ternyata dalam teology tersebut banyak terdapat pertentangan-pertentangan. Kemudian dipelajarinya filsafat ternyata tidak mempunyai argument yang kuat bahkan ada hal-hal yang bertentangan dengan agama. Akhirnya dia menemukan kebenaran yang dicarinya dalam tasawuf.[3]
Sirajudin Zar menukilkan setelah al-Ghazali mengalami keragu-raguan tersebut, ia meninggalkan semua jabatan yang disandangnya, seperti rektor dan guru besar di Baghdad, kemudian ia mengembara ke Damaskus. Di Masjid Jami’ Damaskus ia mengisolasi diri (uzlah) untuk beribadah, kontemplasi, dan sufistik yang berlangsung selama dua tahun.
Setelah sembuh dari penyakit rohaninya, al-Ghazali kembali memimpin Perguruan Tinggi Nizhamiyah di Bagdad, kemudian ia pulang ke Thus dan membangun sebuah madrasah Khan-kah (semacam tempat praktik suluk). Al-Ghazali diberi gelar kehormatan dengan Hujjat al-Islam (Argumentasi Islam).[4][12] Semasa mendalami filsafat, ia menemukan banyak terdapat kelemahan di dalamnya bahkan menurut keyakinannya banyak ajaran filsafat yang bertentangan dengan ajaran Islam bahkan ajaran filsafat kelihatan meremehkan ajaran Islam. Maka tidak mengherankan jika dirinya terpanggil untuk membantah ulama melalui bukunya yang berjudul “Tahafut al-Falasifah” (kekacauan pemikiran filosof-filosof). Sasaran kritik al-Ghazali dalam bukunya itu terutama ditujukan kepada filosof-filosof Islam al-Farabi dan Ibnu Sina. Pandangan kedua orang filosof tersebut menurut keyainannya banyak menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam. Tujuan al-Ghazali dengan kritiknya itu adalah untuk mengembalikan kewajiban syari’at agama dan menyelamatkan aqidah ahlussunnah.[5]
Ia wafat pada hari senin, 14 Jumadil akhir 505 H / 18 Desember 1111 M, dimakamkan di Tabaran, Thus, dan kuburannya banyak diziarahi oleh orang-orang.  Menurut laporan adiknya, Ahmad al-Ghazali, al-Ghazali wafat setelah berwudu shalat shubuh
Sosok al-Ghazali memiliki keistimewaan yang luar biasa, ia seorang ulama, pendidik, ahli fikir dalam ilmunya, dan pengarang yang produktif. Al-Ghazali banyak sekali meninggalkan warisan dalam bentuk karya ilmiah yang banyak memberikan kontribusi positif bagi pemikiran umat Islam seperti Ihya Ulum al-Din, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Maqasid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, Al-Munqiz min al-Dhalal, Mizan al-‘Amal.
Pemaparan singkat di atas menggambarkan bahwa al-Ghazali telah menempuh jalan yang panjang dan berliku dalam proses mengisi intelektualnya, bahkan boleh dibilang semua disiplin ilmu disentuhnya dan memahami betul dengan keilmuannya terbukti dengan banyaknya warisan berupa karya ilmiah yang ia tinggalkan untuk umat, namun tiada gading yang tidak retak, nampaknya hal ini cukup proporsional untuk menggambarkan bahwa cukup banyak tokoh dan ilmuan yang memberikan komentar terhadapnya baik berupa pujian sampai ke tingkat kultus, dan kritik sampai ke tingkat alergi, baik pada zaman klasik maupun pada zaman modern. Pada sub bahasan bab ini akan dibahas salah seorang tokoh dan pemikirannya yang mengkritik al-Ghazali yaitu Ibnu Rusyd.
b. Kritik Terhadap Filosof
Al-Gahazali melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filosof. Adapun yang dimaksud dengan filosof dalam bahasan al-Ghazali ini adalah Aristoteles dan Plato. juga al-Farabi dan Ibn Sina karena kedua filosof Muslim ini dipandang al-Ghazali sangat bertanggung jawab dalam menerima dan menyebarluaskan pemikiran filosofis dari Yunani (Sokrates, Aristoteles, dan Plato) di dunia Islam. Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut al-Falasifah (Kerancuan berpikir para filosof). Sebelumnya, ia mempelajari filsafat tanpa bantuan seorang gurupun dalam kurun waktu dua tahun. Setelah berhasil dihayatinya dengan seksama, lalu ia tuangkan dalam bukunya Maqasid al-Falasifat (Tujuan Pemikiran Para Filosof). Dengan adanya buku ini ada orang yang mengatakan bahwa ia benar-benar menguasai argument yang dipergunakan oleh para filosof.
Kesalahan para filosof tersebut dalam bidang ketuhanan ada 20 masalah, yaitu:
1.      Membatalkan pendapat mereka bahwa ala mini azali
2.      Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini kekal
3.      Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allahlah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam ini diciptakanNya.
4.      Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta.
5.      Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan.
6.      Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat.
7.      Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi kepada ke dalam al-jins dan al-fashl (diffirentia)
8.      Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyat (hakikat).
9.      Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah tidah berjism
10.  Menjelaskan kelemahan pendapat mereka tentang al-dahr (kekal dalam arti tidak berawal dan tidak berakhir)
11.  Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain mereka.
12.  Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa allah hanya mengetahui zatnya
13.  Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat.
14.  Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauanNya.
15.  Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet.
16.  Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua juz’iyyat.
17.  Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hokum alam.
18.  Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh.
19.  Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap) sifat manusia.
20.  Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tudak akan dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam neraka hanya roh
Tiga dari 20 persoalan di atas, menurut al-Ghazali telah membuat filosof menjadi kafir, yaitu:
1.        Alam dan Semua Substansinya Qadim.
Pada umumnya filosof Muslim berpendapat bahwa alam ini kadim, artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Kekadiman Allah dari alam hanya dari segi zat (taqaddum zaty) dan tidak dari segi makan (taqadum makany). Menurutnya para filosof Muslim mengemukakan alas an.
a.    Mustahil timbulnya yang baharu dari yang qadim. Jika Allah kadim, maka terjadinya alam merupakan sesuatu keniscayaan dan hal ini akan menjadikan kadim kedua-duanya (Allah dan alam). Jika diandaikan Allah yang kadim sudah ada, sedangkan alam belum, karena merupakan kemungkinan semata, dan setelah itu alam diadakanNya, maka apa alasannya bahwa alam diadakan sekarang, tidak sebelumnya. Kalau dikatakan sebelumnya motifnya (murajjihnya) belum ada, mengapa baru ada sekarang, tidak sebelumnya? Jika dikatakan kekuasaan baru ada sekarang, tidak sebelumnya? Bagaimana terjadinya kekuasaan itu. Jika dikatakan sebelumnya Allah tidak berkehendak (iradath) dan baru kemudian berkehendak, mengapa terjadi kehendak itu, apakah kehendak itu datang dari zatNya atau dari luar zatNya? Keduanya itu adalah mustahil bagi karena Allah tidak mengalami perubahan.
Al-hazali menjawab sendiri argument filosof Muslim ini dengan mengemukakan, tidak ada halangan apapun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradatNya yang kadim pada waktu diadakanNya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendakiNya. Iradat, menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi Allah yang berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya sama kedudukannya, harus ada sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah. Andaikan para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai iradat, dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya. Oleh karena itu jika Allah menetapkan ciptaanNya pada satu waktu dan tidak pada waktu yang lain, tidaklah mustahil terciptanya sesuatu yang baru dari yang bersifat kadim karena iradat Allah bersifat mutlak dan tidak dihalangi oleh ruang dan waktu.
b.    Keterdahuluan wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi (taqaddum zaty), sedangkan dari segi zaman  (taqaddum zamany) antara keduanya adalah sama. Hal ini sama seeperti keterdahuluan bilangan satu dari dua. Jika demikian keadaan antara Allah dan alam, harus keduanya kadim atau baharu dan tidak mungkin salah satunya kadim dan yang lainnya baharu. Andaikan Allah mendahului alam dari segi zaman, bukan dari segi zat, ini berarti ada zaman sebelum alam diwujudkan. Pada waktu itu alam harus belum ada karena ketiadaan melalui wujud. Oleh sebab itu, Allah mendahului zaman terbatas pada satu sisi dan tidak terbatas pada sisi awal. Ini berarti sebelum ada zaman sudah ada zaman yang tidak terbatas akhirnya. Hal ini paradok, justru itu mustahil zaman sebagai ukuran gerak baharu dan ia harus kadim.
Persoalan ini dijawab oleh al-Ghazali, memang wujud Allah lebih dahulu dari alam dan zaman. Zaman baharu dan diciptakan. Sebelum zaman diciptakan tidak ada zaman. Pertama kali ada Allah, kemudian ada alam karena diciptakan Allah. Jadi, dalam keadaan pertama kita bayangkan adanya Allah saja, dan dalam keadaan yang kedua kita bayangkan ada dua esensi yaitu Allah dan alam dan tidak perlu membayangkan adanya esensi yang ketiga, yaitu zaman. Zaman adanya setelah adanya alam karena zaman merupakan ukuran waktu yang terjadi di alam. Menurut al-Ghazali, mengandaikan zaman sebelum zaman merupakan khayalan pikiran semata, yang diassumsikan benar-benar ada, padahal realitanya tidak sama sekali.
c.    Alam sebelum ada merupakan sesuatu yang mungkin, kemungkinan ini tidak ada awalnya, dengan arti selalu abadi.
Menurut al-Ghazali, ala mini senantiasa mungkin terjadinya, dan setiap saat dapat digambarkan terjadinya. Jika dikatakan bahwa alam ini selama lamanya (kadim) tentu dia tidak baharu. Kenyataan ini jelas tidak bertentangan dengan kenyataan dan tidak cocok dengan teori kemungkinan. Yang kadim menurut pandangan al-Ghazali hanya Allah, sedangkan selain Allah adalah baharu (hadis). Implikasi dari pemahaman ini akan membawa pada:
-          Paham syirik, karena banyak yang kadim, banyaknya Tuhan
-          Paham atheisme, alam yang kadim tidak ada pencipta[6]
Menurut Sirajudin Zar, persoalan alam apakah diakadan dari ada atau dari ketiadaan dan prosesnya tidak dijelaskan dalam al-Qur’an . oleh karena itu, apa pun pendapat yang dikemukakan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan itu semua adalah hasil pemahaman seseorang terhadap ajaran al-Qur’an  yang disebut dengan hasil ijtihad dan itu bukan ajaran al-Qur’an yang tidak boleh berubah dan tidak boleh diubah.
2.    Allah tidak mengetahui yang juz’iyyah (perincian) yang terjadi di alam.
Menurut para filosof bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal atau peristiwa yang terjadi di alam, kecuali hanya yang umum saja. Alasan yang mereka kemukakan sesuatu yang baharu itu dengan segala peristiwanya selalu berubah-ubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti kepada yang diketahui (objeknya), yakni perubahan perkara yang diketahui, menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu-ilmu ini berubah dari tahu menjadi tidak atau sebaliknya berart Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan mustahil terjadinya.
Menurut al-Ghazali, argument seperti ini merupakan kesalahan fatal. Perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu, karena ilmu merupakan idhafah (sesuatu rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dengan arti keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Untuk memperkuat argumentnya, al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an, diantaranya:
a.    Firman Allah dalam Qs. Yunus (10):61
$tBur Ü>â÷ètƒ `tã y7Îi¢ `ÏB ÉA$s)÷WÏiB ;o§sŒ Îû ÇÚöF{$# Ÿwur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# Iwur ttóô¹r& `ÏB y7Ï9ºsŒ Iwur uŽy9ø.r& žwÎ) Îû 5=»tGÏ. AûüÎ7B ÇÏÊÈ  
Artinya: “…… tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
b.    Firman Allah dalam Qs. Al-hujurat (49):16
…. ª!$#ur ãNn=÷ètƒ $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 ª!$#ur Èe@ä3Î >äóÓx« ÒOÎ=tã ÇÊÏÈ  
Artinya: “Katakanlah: "…dan  Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"

Sebenarnya terdapat kesamaan antara al-Ghazali dan filosof Muslim, bahwa ilmu dan zat Allah tidak mungkin mengalami perubahan dan Allah Maha Mengetahui. Perbedaan mereka hanya terletak pada persoalan bagaimana Allah megetahui yang juz’iyyah. Filosof mengemukakan bahwa Allah mengetahui yang juz’iyyah (parsial) lewat yang kulli (umum). Hal ini terjadi disebabkan perbedaan mereka dalam menetapkan sifat dan zat Tuhan. Para filosof mengidentikkan dengan sifat dan zat, sementara al-Ghazali membedakan antara sifat dan zatnya. Pendapat filosof Muslim tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang telah dikemukakan oleh al-Ghazali di atas. Mereka hanya menjelaskan bagaimana cara Allah mengetahui yang juz’iyyah dan mereka bukan mengingkari Allah tentang mengetahui yang juz’iyyah.
3.    Pembangkitan jasmani tidak ada.
Menurut filosof Muslim yng akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Al-Ghazali pada dasarnya tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan di akhirat yang lebih tinggi daripada kelezatan di dunia empiris/indrawati. Juga tidak menolak kekekalan roh setelah berpisah dari jasad, semua itu dapat diketahui dari otoritas dari jasad. Akan tetapi dia membantah bahwa akal saja dapat memberikan pengetahuan final dalam masalah metafisika. Dalam menyanggah pendapat para filosof ini al-Ghazali lebih banyak bersandar pada arti tekstualitas al-Qur’an. Tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan.
Para filosof Muslim berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad semula, dengan berpiahnya jasad dengan roh berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh telah hancur. Sedangkan menurut al-Ghazali kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Hadis-hadis menyebutkan pula bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atau siksa kubur dan lain-lain. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sementara itu, kebangkitan jasmani secara explisit telah ditegaskan oleh syara’.
Jadi pertentangan yang terjadi antara filosof Muslim dengan al-Ghazali hanya berkisar pada tataran interpretasi tentang dasar-dasar ajaran Islam yaitu pada bentuk kebangkitan di akhirat, bukan pertentangan pada dasar-dasar Islam itu sendiri, yakni kebangkitan di akhirat.





















BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Seperti sudah diuraikan di atas bahwa ada tiga lahan perdebatan yang ditudingkan al-Ghazali kepada para filosof Muslim yang menyebabkan mereka menjadi kafir yaitu masalah kadimnya alam, Allah tidak mengetahui yang juz’iyyah dan masalah pembangkitan jasmani. Tiga persoalan menjadi lapangan akal karena tidak ada nash al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW yang menegaskannya. Pendapat al-Ghazali ini, sebagi seorang teolog Muslim, tentu saja dipengaruhi oleh paham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, artinya Allah dapat berbuat apapun tanpa ada yang menghalangi-Nya, sehingga tidak mengherankan jika al-Ghazali berpendapat demikian.
3 masalah yang menurut al-Ghazali telah membuat filosof menjadi kafir, yaitu:
1.      Alam dan Semua Substansinya Qadim.
2.      Allah tidak mengetahui yang juz’iyyah (perincian) yang terjadi di alam.
3.      Pembangkitan jasmani tidak ada.
B.       Saran
Dengan adanya makalah tentang pandangan imam al-ghazali terhadap kerancuan berfikir para filufus ini semoga dapat menambah pengetahuan kita tentang jalannya berfikirnya para ahli filosof dalam mengeluarkan pendapatnya tentang islam. Semoga bermanfaat bagi pembaca. Amin.











DAFTAR PUSTAKA
Saepul Anwar, (2007),  Filsafat Ilmu al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, Bandung: Pustaka Setia
Sirajuddin Zar, (2004), Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo.
Harun Nasution,(1973),  Filsafat dan Misticisme dalam Islam,  Jakarta:  Bulan Bintang
Fachri Syamsudin, (2005), Dasar – Dasar Filsafat Islam, Jakarta: The Minangkabau Foundation
http://filsafatcoy.blogspot.com/2013/05/al-ghazali-dan-ibn-rusyd.html


1Saepul Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), cet. I. h. 14
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), h. 159
[3] Harun Nasution, Filsafat dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)., cet. I., h., 35 - 37

[5] Fachri Syamsudin, Dasar – Dasar Filsafat Islam, (Jakarta: The Minangkabau Foundation, 2005)., cet. I., h. 74 - 75
[6] Ibid, h. 168. Baca juga Harun Nasution, Makalah Simposium tentang al-Ghazali diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Swasta se-Indonesia, Jakarta: 26 Januari 1985, h. 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar